Sejak diperkenalkan konsep Kalender Islam Global Turki 1437/2016 atau Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) berbagai respons bermunculan, baik pro maupun kontra. Pada tanggal 20-21 Syawal 1446/19-20 April 2025 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyelenggarakan Halaqah Nasional KHGT di Grand Rohan Hotel Yogyakarta. Kegiatan ini bertujuan menyamakan persepsi peserta mengenai beberapa hal teknis maupun konseptual KHGT, menyusun SOP dan Teknis Perhitungan KHGT, dan menyusun kriteria software yang akurat dan handal (reliable) untuk mengimplementasikan KHGT. Salah satu isu dan pertanyaan penting yang sering berkembang di masyarakat adalah persoalan permulaan hari menurut KHGT. Oleh karena itu, pertemuan ini berusaha mendialogkan konsep permulaan hari dalam khazanah Islam dan hasil Konferensi Turki 1437/2016 yang akan dituangkan dalam SOP agar mudah dipahami dan tidak terjadi kesalahpahaman baik internal maupun eksternal.
Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) adalah projek peradaban yang bertujuan menyatukan kalender Islam di seluruh dunia agar umat Islam dapat melaksanakan ibadah-ibadah penting secara serempak. Salah satu prinsip yang merupakan fondasi KHGT adalah formulasi tentang permulaan hari (al-yaum). Dalam tradisi Islam, pergantian hari dimulai saat matahari terbenam (sunset). Hal ini terlihat dalam berbagai praktik ibadah, seperti permulaan masuknya bulan Ramadan sejak matahari terbenam pada akhir bulan Syakban, dan hari Jumat yang dimulai sejak Kamis petang. Dalam konteks peradaban kontemporer yang terbentang dalam berbagai zona waktu, KHGT memperkenalkan pendekatan baru dalam menetapkan kapan akhir ijtimak secara global.
KHGT berangkat dari kesadaran bahwa bumi itu bulat dan waktu tidak seragam. Oleh sebab itu, diperlukan titik referensi universal untuk menandai kapan tanggal hijriah yang baru dimulai. Titik referensi ini disebut sebagai “Titik Visibilitas Hilal pertama”, yaitu wilayah paling awal yang memungkinkan telah memenuhi kriteria visibilitas hilal sesuai kriteria yang disepakati. Titik Visibilitas Hilal pertama bisa melewati wilayah bagian Timur, Tengah, dan Barat. Jika hilal sudah memenuhi visibilitas hilal dan konjungsi terjadi sebelum pukul 00.00 UTC atau lebih sebelum fajar di New Zealand dan visbilitas hilal terjadi di daratan Amerika, maka keesokannya merupakan tanggal baru hijriah dan dari titik itu menjadi rujukan untuk seluruh dunia. Dengan demikian, KHGT memulai hari secara serempak di seluruh dunia, berdasarkan kejadian astronomis yang bersifat global, bukan lokal.
Dengan kata lain peristiwa permulaan visibilitas hilal menyebar ke berbagai wilayah dari Timur sampai Barat. Dalam buku berjudul “Kalender Islam Global” karya Sriyatin Shodiq dan Ainul Yaqin al-Falaky disebutkan bahwa pada bulan Syakban 1487 H/2064 M visibilitas hilal pertama terjadi di Wellington (New Zealand) dengan ketinggian hilal 07° 13’ 50” dan elongasi 08° 18’ 49”. Pada bulan Ramadan 1469 H/2046 M visibilitas hilal pertama terjadi di Yogyakarta (Indonesia) dengan ketinggian hilal 06° 09’ 08” dan elongasi 08° 00’ 15”. Sementara itu pada bulan Ramadan 1521 H/2097 M visibilitas hilal pertama terjadi di Los Angeles (USA) dengan ketinggian hilal 05° 30’ 16” dan elongasi 08° 02’ 02”. Keberlakukan visibilitas hilal KHGT ini berbeda dengan konsep Neo-Visibilitas Hilal MABIMS (3,6.4) yang luasnya hanya dari Sabang sampai Merauke, sedangkan KHGT dari Amerika hingga New Zealand.
Dalam praktiknya, hal ini berarti bahwa umat Islam dari Asia hingga Amerika akan memiliki tanggal masehi dan hari yang sama pada awal tanggal hijriah yang ditentukan, meskipun secara waktu lokal mereka berada di fase siang, sore, atau bahkan malam yang berbeda. Sebagai contoh, jika 1 Ramadan ditentukan berdasarkan visibilitas hilal di Samudera Pasifik Timur dan jatuh pada hari Sabtu, maka seluruh dunia menggunakan 1 Ramadan pada hari itu, meskipun di sebagian wilayah, seperti Amerika Serikat, waktu lokal masih menunjukkan Jumat sore. Ini merupakan pendekatan sinkronisasi kalender yang mengutamakan kebersamaan dan keseragaman umat Islam di seluruh dunia dalam menjalankan ibadah kolektif.
Secara teologis dan filosofis, pendekatan KHGT berakar pada prinsip wahdatul ummah atau persatuan umat. Dalam banyak sabda Nabi Muhammad saw, semangat kolektivitas umat sangat ditekankan. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan at-Tirmidzi: “Puasa itu pada hari kamu semua berpuasa, dan Idulfitri pada hari kamu semua berbuka.” Hadis ini menunjukkan secara jelas pentingnya keseragaman dalam ibadah umat Islam dan sejalan dengan spirit Q.S. Ali Imran ayat 103. Untuk itu kehadiran KHGT dimaksudkan bahwa unifikasi awal bulan Hijriah bukanlah sebatas isu astronomi atau hisab, melainkan bagian dari ikhtiar mewujudkan persaudaraan Islam dalam skala global. Dalam hal ini, KHGT tidak meniadakan hisab atau rukyat lokal, melainkan memadukannya dalam sistem global yang berlandaskan pada konsensus dan kepentingan bersama.
Dari sisi astronomi, KHGT memanfaatkan fenomena ijtimak (konjungsi bulan dan matahari) serta potensi visibilitas hilal secara global. Apabila ijtimak terjadi sebelum pukul 00.00 UTC dan memenuhi di titik awal visibilitas hilal yang telah disepakati (ketinggian 5 derajat dan elongasi 8 derajat), maka tanggal hijriah baru dapat ditetapkan secara global pada esok harinya. Metode ini menghadirkan kejelasan dan dapat diprediksi jauh hari, sebagaimana kalender masehi, namun tetap memelihara prinsip-prinsip hukum Islam bahwa awal bulan hijriah ditentukan oleh fenomena langit. Ini menjadi “jalan tengah” antara pendekatan tradisional dan tuntutan modernitas. Jadi, penggunaan pukul 00.00 UTC semata-mata untuk “menjaring” batas maksimal terjadinya peristiwa ijtimak bukan konsep permulaan hari dalam KHGT kaitannya dengan persoalan ibadah.
Implikasi dari konsep ini cukup luas. Pertama, umat Islam di berbagai belahan dunia dapat memiliki kalender yang seragam, yang memudahkan perencanaan ibadah, pendidikan, perjalanan haji, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kedua, kebersamaan dalam hari-hari besar Islam seperti Idulfitri dan Iduladha menjadi lebih nyata, menghilangkan keraguan dan kebingungan di tengah masyarakat. Ketiga, sistem KHGT mendukung penggunaan teknologi dan sistem informasi global yang makin berkembang, seperti aplikasi kalender digital dan sistem pengingat ibadah berbasis zona waktu.
Konsep permulaan hari dalam KHGT adalah sama dengan keyakinan umat Islam yang memegang teguh bahwa hari baru harus dimulai saat matahari terbenam di tempat masing-masing. Dalam kerangka KHGT, hal ini tidak diabaikan, tetapi ditempatkan dalam konteks ibadah harian seperti salat, yang memang harus disesuaikan dengan waktu lokal. Yang dimaksud dengan “permulaan hari” dalam KHGT adalah penentuan angka tanggal hijriah secara administratif dan kolektif, bukan penentuan waktu-waktu ibadah harian yang sifatnya lokal dan individual. Ini serupa dengan sistem kalender masehi yang diimplementasikan di seluruh dunia, meskipun zona waktu berbeda-beda. Dengan kata lain pelaksanaan ibadah terkait dengan pergantian hari tetap mengikuti matahari terbenam lokal dan pelaksanaan tarawih setelah salat Isyak. Hal ini sebagaimana dilakukan Turki pasca menggunakan kalender Islam global tunggal.
Perubahan paradigma ini memerlukan sosialisasi yang luas, dialog antar ulama, serta kesepakatan lintas negara. Ini bukan semata-mata persoalan teknis, melainkan bagian dari ijtihad jama’i (kolektif) memadukan pesan nas dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat di era global. Oleh karena itu, KHGT menekankan bahwa unifikasi kalender bukan untuk menggantikan syariat, melainkan untuk memudahkan umat dalam menjalankan syariat secara lebih harmonis dan terkoordinasi di seluruh dunia. Sekaligus menghilangkan kesulitan dan ketidakpastian dalam manajemen waktu.
Dengan demikian, konsep permulaan hari dalam KHGT harus dipahamai secara komprehensif antara law in book dan law in action agar tidak muncul kesalahpahaman dalam mengimplementasikannya. Kehadiran KHGT bukan sekadar perubahan teknis dalam kalender, tetapi merupakan transformasi mendalam dalam cara berpikir umat Islam tentang waktu, kesatuan, dan relevansi syariat dalam dunia modern. KHGT mengajak umat Islam untuk berani melangkah maju dengan tetap berpegang pada nilai-nilai dasar Islam, sambil merespons tantangan zaman dengan pendekatan yang rasional, ilmiah, dan berlandaskan syariat (al-Muhafadhah ala al-Qadim as-Salih wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Aslah).
KHGT adalah bukti bahwa Islam memiliki fleksibilitas dalam hal-hal muamalah, termasuk dalam sistem penanggalan, selama tidak melanggar prinsip dasar agama. Pemahaman baru tentang permulaan visibilitas hilal dalam KHGT menjadi salah satu bentuk ijtihad kontemporer yang menjembatani tradisi dan modernitas, lokalitas dan globalitas, serta tekstualitas dan kontekstualitas. Dengan memahami konsep ini, umat Islam diharapkan dapat melangkah bersama menuju masa depan yang lebih bersatu, terorganisir, dan terarah dalam mengatur waktu ibadah dan kehidupan. Satu umat, satu kalender, dan satu peradaban.
Wa Allahu A’lam bi as-Sawab
Artikel ini telah dimuat di IBTimes pada tanggal 15 Zulkaidah 1446/13 Mei 2025.
Penulis Susiknan Azhari, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.