Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, memiliki sejarah dan dinamika yang panjang serta kompleks dalam penentuan awal bulan hijriah. Dalam perjalanannya Muhammadiyah pernah menggunakan beberapa metode atau kriteria sesuai hasil ijtihad kolektif, yang terakhir menggunakan metode hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal. Menurut kriteria ini bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 bulan kamariah berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif, yaitu (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan (3) pada saat matahari terbenam Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk. Apabila salah satu dari kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka bulan berjalan digenapkan tiga puluh hari dan bulan baru dimulai lusa. Kriteria Wujudul Hilal mulai digunakan pada saat Majelis Tarjih dipimpin oleh Kyai Muhammad Wardan Diponingrat. Dalam perjalanannya muncul gagasan perlunya kehadiran Kalender Hijriah Global untuk mewujudkan kalender hijriah yang mapan dan dapat dipedomani umat Islam sedunia.
Kini Muhammadiyah memasuki babak baru terkait metode penentuan awal bulan kamariah dengan mengusung kalender Islam yang bersifat global. Pemikiran dan keinginan menghadirkan kalender Islam bersifat global ini telah lama mengalir di kalangan Muhammadiyah. Gagasan ini berawal dari M. Din Syamsuddin ketika menjadi Ketua Umum Muhammadiyah. Ia menginginkan agar Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan pertemuan Internasional membahas konsep “Ittihadu al-Matali dan at-Taqwim al-Islamy al-‘Alami” dalam rangka menghadirkan Kalender Islam Global untuk dijadikan pedoman bersama. Menindaklanjuti gagasan M. Din Syamsuddin tersebut diselenggarakan Simposium Internasional “Towards A Unified International Calendar”, bertempat di Hotel Syahid Jakarta, 4-6 September 2007/22-24 Syakban 1428 dan dibuka oleh Wakil Presiden Republik Indonesia M. Jusuf Kalla.
Secara organisatoris, rumusan kalender Islam global dimunculkan sejak Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar tahun 1436 H/2015 M dan diperkuat di Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo tahun 1443 H/2022 M. Berdasarkan kedua putusan tersebut Majelis Tarjih dan Tajdid mengkaji secara komprehensif dan menindaklanjuti pada Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih Muhammadiyah ke-32 di Pekalongan tahun 1445 H/2024 M. Muhammadiyah telah berketetapan menerapkan sebuah kalender yang bersifat global yang dikenal dengan “Kalender Hijriah Global Tunggal” (KHGT) berdasarkan Tanfidz Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 86/Kep/1.0/B/2025 tertanggal 4 Syakban 1446/3 Februari 2025. Perbedaan sekaligus keunggulan kalender ini adalah implementasi dan penerapannya yang bersifat global yaitu diperuntukkan bukan hanya di Indonesia tapi juga untuk seluruh umat Islam dunia. Dengan kata lain KHGT bukan hanya milik Muhammadiyah tetapi milik peradaban Islam.
Selanjutnya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan menyelenggarakan Launching dan Simposium Internasional tentang Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) pada hari Rabu 29 Zulhijah 1446 H bertepatan dengan tanggal 25 Juni 2025 bertempat di Univesitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta. Acara ini akan dihadiri para tokoh internasional, seperti Prof. Dr. Mehmet Gormez (Diyanet Turki), Dr. Zulfiqar Ali Shah (FCNA USA), Dr. Ali Jaballah ( ECFR ), pimpinan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Duta Besar negara sahabat, Menteri Agama RI, Ormas Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan para pegiat astronomi Islam di dunia. Kegiatan ini menandai keberlakuan KHGT secara resmi di lingkungan Muhammadiyah. Selain itu memperkenalkan kepada masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya bahwa Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan kamariah telah beralih dari kriteria Wujudul Hilal lokal menuju Kalender Hijriah Global Tunggal.
KHGT: Menyatukan Umat, Membangun Masa Depan
Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah sebagaimana dinyatakan oleh Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya yang berjudul “Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah” menyatakan “Persatuan Islam itulah yang harus kita tuju……..semua orang Islam harus menjadi badan satu yang berguna. Tandanya hidupnya bergerak dan tidak diam saja”. Spirit yang diajarkan Ahmad Dahlan ini sangat penting. Persatuan merupakan cita-cita luhur yang telah diperjuangkan sejak masa Nabi Muhammad saw. Dalam sejarahnya, perpecahan umat seringkali membawa dampak negatif bagi umat. Hal ini sebagimana diisyaratkan Q.S. Ali Imran ayat 103. Kasus perbedaan penentuan awal bulan kamariah tampak kecil dan sederhana. Namun realitanya persoalan ini berdampak besar dalam kehidupan nasional, regional, dan global. Bagi muslim yang bertempat tinggal di wilayah minoritas sangat merasakan kesulitan ketika Idul Fitri terjadi perbedaan karena negara hanya memfasilitasi satu hari pelaksanaan salat Id. Untuk itu KHGT merupakan upaya konkret untuk menyatukan umat dalam konteks ibadah.
KHGT bukan sekadar proyek untuk mewujudkan unifikasi kalender Islam, tetapi merupakan bagian dari agenda besar tajdid peradaban Islam. Hal ini sebagaimana dikemukakan Hamim Ilyas, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tajdid, atau pembaruan, adalah semangat inti dalam Islam yang bertujuan menghidupkan kembali ajaran Islam yang autentik sekaligus menjawab tantangan zaman. Dalam konteks ini, KHGT menjadi simbol integrasi agama dan sains. Sekaligus mewujudkan visi global umat Islam. Hingga hari ini kalender hijriah yang berkembang di masyarakat masih bersifat lokal dan tidak sinkron antara satu ormas dengan ormas lainnya. Begitu pula antar negara di belahan dunia. Perbedaan penetapan 1 Ramadan, 1 Syawal, dan hari-hari besar Islam lainnya menyebabkan “perpecahan” dalam pelaksanaan ibadah umat Islam secara global. Persoalan ini bukan sekedar menyangkut ibadah, tetapi juga memunculkan dampak psikologis, sosial-kemasyarakatan, dan politik.
Kehadiran KHGT memiliki visi untuk merayakan harmoni dan kebersamaan dalam penentuan awal bulan kamariah secara global. Konsep ini tidak hanya memudahkan pengaturan ibadah, tetapi juga memperlihatkan kedewasaan dan kemandirian umat Islam dalam mengelola sistem waktu ibadah secara ilmiah dan terorganisir berpandukan al-Qur’an, as-Sunah, dan sains. Dalam konteks ini, KHGT sebagai simbolisasi integrasi syariat, astronomi Islam, dan teknologi. KHGT juga memiliki dimensi geopolitik. Dunia Islam telah lama berpecah-belah dalam berbagai aspek. Salah satunya persoalan unifikasi kalender Islam. Hampir setengah abad upaya unifikasi telah dilakukan. Untuk itu diharapkan melalui KHGT, dunia Islam dapat menunjukkan kedaulatan ilmiahnya dan membangun kepercayaan diri kolektif. KHGT merupakan langkah menuju civilizational agency—kemampuan umat Islam untuk menjadi pemeran aktif dalam pembangunan peradaban dunia.
Tajdid peradaban adalah pembaruan menyeluruh terhadap cara pandang, sistem nilai, struktur sosial, dan sistem pengetahuan umat Islam. Dalam sejarah Islam, tajdid selalu menjadi penanda zaman, dari masa Umar bin Khattab dengan reformasi administrasi, hingga Ibn Khaldun dengan teori sosialnya. Tajdid peradaban pada era digital memerlukan pembaruan institusi-institusi dasar kehidupan muslim, termasuk sistem kalender. Kalender adalah infrastruktur budaya dan spiritual umat. Dengan membangun KHGT, umat Islam sedang membangun time consciousness baru yang bersifat kolektif-universal berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. KHGT sebagai bagian dari tajdid peradaban juga menuntut keterlibatan berbagai pihak, seperti ilmuwan, ulama, pemerintah, dan masyarakat. Ini mencerminkan semangat syura (musyawarah) dan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif), yang menjadi ciri khas pembaruan Islam sepanjang sejarah.
KHGT sebagai Simbol Peradaban Baru
KHGT menegaskan pentingnya pendekatan ilmiah yang dipandu syariat dalam kehidupan keagamaan. Dalam hal ini, penggunaan astronomi Islam, software simulasi hilal, dan perhitungan visibilitas hilal global menjadi kunci. Ini merupakan wujud integrasi antara syariat dan sains yang memperkuat legitimasi KHGT. Pendekatan ini juga menunjukkan bahwa Islam tidak anti-sains. Justru kehadirannya menjadi sarana mengintegrasikan antara agama dan sains, yang relevan dalam menjawab tantangan modernitas. KHGT menuntut lahirnya fikih baru—fikih global—yang dapat menjawab kebutuhan umat lintas negara dan benua. Fikih ini berpijak pada maqasid al-syariah (tujuan-tujuan syariat), bukan hanya pada tekstualisme sempit. Dengan demikian akan menghasilkan pemikiran yang solutif dan mencerahkan. Di sinilah diperlukan wawasan yang luas dan open mind. Fikih global mengedepankan maslahat, persatuan umat, dan keteraturan sosial. Dalam konteks KHGT, ini berarti bahwa penetapan waktu ibadah harus mempertimbangkan keserempakan global, bukan hanya realitas lokal. Ini sejalan dengan prinsip raf’ al-haraj (menghilangkan kesulitan) dan taysir (kemudahan). Sekaligus sesuai watak Islam yang universal.
KHGT menghadapi tantangan dari berbagai sisi, seperti resistensi fikih lokal yang masih berpegang pada rukyat secara literal dan ketidakpercayaan antar negara Muslim. Selain itu, banyak masyarakat Muslim yang masih belum memahami pentingnya unifikasi kalender Islam. KHGT sering dianggap proyek elitis yang jauh dari realitas umat. Bahkan sering muncul stigma gagasan satu kalender, satu umat, satu peradaban dianggap tidak memiliki landasan syar’i yang kokoh. Meskipun demikian peluang KHGT juga besar. Di era digital, umat Islam lebih mudah terhubung dan mengakses data astronomi secara real time. Generasi muda Muslim yang menguasai teknologi informasi juga lebih siap menerima pendekatan ilmiah dalam fikih. KHGT dapat menjadi bagian dari agenda pendidikan Islam, media sosial dakwah, dan program internasionalisasi Islam moderat. Jika dikemas dengan baik, KHGT akan menjadi simbol kemajuan Islam dan daya saing umat Muslim di tingkat global.
Muhammadiyah sebagai peletak dasar penggunaan hisab dalam penentuan awal bulan kamariah di Indonesia menjadi pionir penting dalam gagasan KHGT. Melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, Muhammadiyah tidak hanya menawarkan sistem hisab global, tetapi juga mengusung pendekatan tajdid yang inklusif dan rasional. Sebagai gerakan pembaruan, Muhammadiyah memahami bahwa KHGT bukan sekedar persoalan teknis perkalenderan, tetapi bagian dari reformasi besar dalam beragama. KHGT adalah instrumen membangun kesatuan umat, keteraturan sosial, dan etos ilmiah dalam beragama. Forum-forum seperti Halaqah Nasional dan Simposium Internasional KHGT yang diadakan Muhammadiyah menjadi ruang dialog, konsolidasi, membangun jejaring ahli aplikasi di dunia, dan edukasi penting bagi pemahaman umat. Apalagi dengan kehadiran aplikasi Hisab Muhammadiyah (HisabMu) akan menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum milenial dan memudahkan dalam memahami KHGT. Di sinilah Muhammadiyah memainkan perannya sebagai agent of change dalam tajdid peradaban Islam.
KHGT memadukan keduanya. Ia menawarkan kesatuan spiritual—dengan ibadah serentak—dan kesatuan struktural—dengan sistem waktu yang seragam. Lebih dari itu, KHGT menyampaikan pesan kepada dunia, bahwa Islam adalah agama yang teratur, rasional, dan terbuka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. KHGT adalah proyek kolektif umat yang bisa menjadi simbol bangkitnya peradaban Islam yang baru Islamic cosmopolitanism yang tidak lagi terkotak-kotak oleh batas negara atau mazhab. KHGT juga merupakan bentuk perlawanan simbolik terhadap fragmentasi umat. Dengan satu kalender, umat Islam dapat merasakan kembali denyut nadi ukhuwah global yang selama ini terfragmentasi oleh sekat-sekat nasionalisme, otoritas lokal, dan warisan kolonial.
Penutup
KHGT bukan sekadar aktivitas astronomi Islam atau teknis keagamaan. Ia adalah manifestasi dari semangat tajdid peradaban Islam yang menggabungkan ilmu pengetahuan, fikih kontemporer, dan semangat persatuan umat. Dalam jangka panjang, KHGT akan menjadi pilar penting dalam bangunan peradaban Islam yang baru—yang berakar pada tradisi tetapi terbuka pada inovasi. Umat Islam memerlukan keberanian untuk melangkah dari zona nyaman menuju transformasi kolektif. KHGT adalah langkah nyata ke arah itu. Seperti Nabi Ibrahim yang memandang langit untuk mencari Tuhannya, KHGT mengajak umat Islam memandang langit—bukan sekadar untuk melihat bulan, tetapi untuk membangun masa depan bersama keyakinan dan tindakan.
Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.
Artikel ini telah dimuat di MEDIA INDONESIA pada tanggal 29 Zulhijah 1446/25 Juni 2025.
Penulis Susiknan Azhari, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
