Penetapan awal bulan kamariah seringkali menjadi isu penting dikalangan umat Islam, sebab terkait langsung dengan persoalan ibadah, sistem kalender, serta sinkronisasi kegiatan keagamaan di dalam negeri maupun luar negeri. Dalam hal ini, penentuan awal bulan Rabiulakhir 1447 H menjadi salah satu peristiwa yang menarik untuk dikaji. Pasalnya, meskipun terdapat kecenderungan keseragaman di banyak negara Muslim, perbedaan tetap muncul di sejumlah wilayah lain. Fenomena ini menunjukkan bahwa penentuan awal bulan bukan hanya persoalan teknis astronomi, melainkan juga terkait dengan metode hisab, praktik rukyat, dan otoritas keagamaan yang berlaku di tiap negara. Oleh karena itu, tulisan ini berupaya menyajikan uraian singkat tentang proses penentuan awal Rabiulakhir 1447 H, dengan melihat ulang hasil rukyat, hasil hisab, serta perbandingan kalender resmi dari berbagai negara Muslim. Dengan cara ini, diharapkan dapat tergambar dinamika penentuan awal bulan yang sekaligus mencerminkan keragaman pendekatan dalam dunia Islam kontemporer.
Awal Rabiul Akhir 1447
Mayoritas negara Muslim mengawali bulan Rabiul Akhir 1447 pada hari Selasa, 23 September 2025. Berdasarkan laporan Islamic Crescent’s Observation Project (ICOP), terdapat 13 negara yang menetapkan awal bulan pada tanggal tersebut, yaitu: Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Aljazair, Irak, Kuwait, Arab Saudi, Yaman, Indonesia, Suriah, Palestina, Qatar, Lebanon, dan Mesir. Kesamaan penentuan ini sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama: kriteria hisab yang digunakan oleh masing-masing negara, serta laporan keberhasilan rukyat di negara masing-masing. Arab Saudi menggunakan sistem kalender Ummul Qura yang berbasis hisab dengan kriteria Wiladatul Hilal. Sementara Indonesia memadukan hasil hisab dengan kesaksian rukyat di lapangan.
Kebersamaan penentuan awal Rabiulakhir 1447 H di sebagian besar negara Muslim menggambarkan bahwa, meskipun pendekatan yang digunakan berbeda-beda, posisi hilal pada saat itu sudah sesuai dengan syarat yang digunakan masing-masing negara, sehingga keputusan mayoritas pun seragam. Kendati demikian, masih ada enam negara yang menetapkan awal bulan pada Rabu, 24 September 2025, yakni Yordania, Maroko, Iran, Bangladesh, Oman, dan Libya. Perbedaan ini umumnya dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, standar kriteria visibilitas hilal yang lebih tinggi. Artinya, meskipun secara astronomis hilal sudah mungkin terlihat, mereka tetap menolak menetapkan awal bulan apabila tidak ada laporan pengamatan yang valid di lapangan. Kedua, perbedaan pendekatan metodologis antara hisab dan rukyat murni. Iran, misalnya, secara tradisional lebih ketat dan menjadikan hasil rukyat sebagai acuan utama. Maroko pun konsisten menggunakan rukyat dengan mata telanjang sebagai syarat mutlak dalam penetapan awal bulan. Karena itulah, awal Rabiulakhir di negara-negara tersebut jatuh sehari lebih lambat dibanding mayoritas dunia Islam.
Kasus Malaysia, Brunei Darussalam, dan Laporan Rukyat di Indonesia
Malaysia dan Brunei Darussalam berada pada posisi menarik. Kedua negara ini tidak menerima laporan keberhasilan melihat hilal pada hari Senin 29 Rabiulawal 1447/22 September 2025. Namun, berdasarkan hasil hisab, pada Senin, 29 Rabiul Awal 1447 H (22 September 2025 M) posisi hilal telah memenuhi kriteria Neo-Visibilitas Hilal MABIMS yang mempersyaratkan tinggi bulan minimum 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat. Karena syarat tersebut telah terpenuhi, maka baik Malaysia maupun Brunei Darussalam menetapkan awal Rabiulakhir 1447 jatuh pada Selasa, 23 September 2025 meskipun tanpa dukungan kesaksian rukyat. Hal ini sejalan dengan kebijakan mereka untuk mengimplementasikan kriteria Neo-visibilitas hilal MABIMS.
Keputusan ini menunjukkan pendekatan transisi dan kebutuhan untuk mereposisi arti rukyat. Saat ini, rukyat masih dipertimbangkan; namun, jika informasi hisab tentang posisi hilal menunjukkan bahwa syarat astronomis telah dipenuhi, awal bulan akan ditetapkan tanpa tergantung pada keterlihatan hilal. Sementara itu, pada Senin, 22 September 2025, Indonesia menjadi salah satu negara yang berhasil memperoleh laporan hasil rukyat. Hal ini memperkuat keputusan yang menetapkan Selasa, 23 September 2025, sebagai awal Rabiul Akhir 1447. Laporan penting seputar lokasi yang berhasil melihat hilal antara lain: Observatorium Tgk Chiek Kuta Karang yang terletak di Lhoknga, Aceh. Pada pukul 18:35 hingga 18:46 WIB, hilal berhasil terlihat melalui lensa optik oleh Alfirdaus Putra Salma. Balai Rukyat NU Condrodipo dan Lembaga Falakiyah PCNU Gresik. Hilal terlihat dengan mata telanjang pada pukul 17:28 WIB oleh M. Solahuddin dan H. Inwanuddin, sedangkan RSI Siti Hajar, Lembaga Falakiyah PCNU Sidoarjo. Hilal terlihat dengan mata telanjang pukul 17:28 WIB oleh saksi Muchammad Qalbir Rohman.
Berdasarkan hasil hisab, pada saat matahari terbenam tanggal 29 Rabiul Awal 1447 H, tinggi hilal di Indonesia berkisar antara 3,41° di Melonguane hingga 4,7° di Pelabuhan Ratu. Adapun elongasi geosentris berada pada rentang 6,17° di Waris sampai 7,58° di Banda Aceh. Parameter tersebut telah memenuhi kriteria Neo-Visibilitas Hilal MABIMS, sehingga hasil pengamatan hilal sejalan dengan perhitungan hisab. Laporan rukyat ini menjadi dasar bagi Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam menetapkan awal Rabiulakhir 1447 H jatuh pada Selasa, 23 September 2025. Keputusan tersebut selaras dengan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) yang diusung Muhammadiyah, Almanak Islam PERSIS, dan Kalender Hijriah Indonesia yang diterbitkan Kementerian Agama Republik Indonesia. Seluruhnya menetapkan awal Rabiulakhir 1447 H pada hari yang sama, yaitu Selasa, 23 September 2025.
Membaca perbedaan dan titik temu kalender Islam dunia
Menurut kalender Ummul Qura, yang digunakan di Arab Saudi, Selasa, 23 September 2025 adalah awal bulan Rabiulakhir 1447. Kebersamaan ini menggambarkan titik temu antara hisab, rukyat, dan kalender resmi. Dalam konteks yang lebih luas, konsistensi ini semakin memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem penanggalan Islam yang berbasis sains astronomi modern, tanpa mengabaikan tradisi rukyat. Kasus Rabiul Akhir 1447 memperlihatkan pola yang umum terjadi dalam dunia Islam: mayoritas negara memulai pada tanggal yang sama, tetapi sebagian kecil tetap berbeda. Pertanyaan penting yang muncul adalah mengapa hampir setiap awal bulan kamariah terjadi perbedaan? Fenomena ini kembali menegaskan pentingnya gagasan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT). Dengan adanya sistem kalender yang disepakati secara global, umat Islam dapat meminimalisir perbedaan yang kerap menimbulkan kebingungan. Awal Rabiul Akhir 1447 menjadi contoh nyata bahwa titik temu bisa dicapai dengan melakukan reposisi makna rukyat. Jika pola ini dikonsolidasikan dengan paradigma global, maka kalender Islam yang unifikatif bukanlah sesuatu yang mustahil.
Catatan Akhir
Perbedaan Awal Rabiul Akhir 1447 H memperlihatkan dinamika menarik dalam penentuan kalender Islam. Sebanyak 13 negara memulai pada Selasa, 23 September 2025, sementara 6 negara memulai pada Rabu, 24 September 2025. Malaysia dan Brunei Darussalam yang tidak mendapatkan laporan rukyat tetap memulai pada 23 September 2025 berdasarkan kriteria Neo-Visbilitas Hilal MABIMS. Indonesia, yang berhasil mendapatkan laporan rukyat dari berbagai lokasi, semakin menguatkan keputusan tersebut. Kesamaan keputusan antara KHGT, Kalender Hijriah Indonesia, Almanak Islam, dan Ummul Qura menunjukkan adanya harmoni antara sains astronomi dan tradisi keagamaan. Meskipun perbedaan masih terjadi, kasus ini memberi harapan bahwa suatu saat kehadiran Kalender Islam Global Tunggal dapat diterima dan diwujudkan untuk menyatukan umat.
Wa Allahu A’lam bi as-Sawab
Penulis Susiknan Azhari, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sumber Foto : hijria
